hukum shalat tarawih dan jumlah nya
Hukum Shalat Tarawih
Hukum shalat tarawih adalah mustahab (sunnah),
sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi ketika
menjelaskan tentang sabda Nabi n yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
مَنْ قَامَ رَمَصَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ
لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa menegakkan Ramadhan dalam keadaan
beriman dan mengharap balasan dari Allah , niscaya diampuni dosa yang telah
lalu.” (Muttafaqun ‘alaih)
“Yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat
tarawih dan ulama telah bersepakat bahwa shalat tarawih hukumnya mustahab
(sunnah).” (Syarh Shahih Muslim, 6/282). Dan beliau menyatakan pula tentang
kesepakatan para ulama tentang sunnahnya hukum shalat tarawih ini dalam Syarh
Shahih Muslim (5/140) dan Al-Majmu’ (3/526).
Ketika Al-Imam An-Nawawi menafsirkan qiyamu Ramadhan
dengan shalat tarawih maka Al-Hafizh Ibnu Hajar memperjelas kembali tentang hal
tersebut: “Maksudnya bahwa qiyamu Ramadhan dapat diperoleh dengan melaksanakan
shalat tarawih dan bukanlah yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan hanya diperoleh
dengan melaksanakan shalat tarawih saja (dan meniadakan amalan lainnya).”
(Fathul Bari, 4/295)
Mana yang lebih utama dilaksanakan secara berjamaah
di masjid atau sendiri-sendiri di rumah?
Dalam masalah ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama, yang utama adalah dilaksanakan
secara berjamaah.
Ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan sebagian
besar sahabatnya, juga pendapat Abu Hanifah dan Al-Imam Ahmad (Masaailul Imami
Ahmad, hal. 90) dan disebutkan pula oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2/605) dan
Al-Mirdawi dalam Al-Inshaf (2/181) serta sebagian pengikut Al-Imam Malik dan
lainnya, sebagaimana yang telah disebutkan Al-Imam An-Nawawi t dalam Syarh
Shahih Muslim (6/282).
Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama
(Al-Fath, 4/297) dan pendapat ini pula yang dipegang Asy-Syaikh Nashiruddin
Al-Albani , beliau berkata: “Disyariatkan shalat berjamaah pada qiyam bulan
Ramadhan, bahkan dia (shalat tarawih dengan berjamaah) lebih utama daripada
(dilaksanakan) sendirian…” (Qiyamu Ramadhan, hal.19-20).
Pendapat kedua, yang utama adalah dilaksanakan
sendiri-sendiri.
Pendapat kedua ini adalah pendapat Al-Imam Malik dan
Abu Yusuf serta sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal ini sebutkan pula
oleh Al-Imam An-Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 6/282).
Adapun dasar masing-masing pendapat tersebut adalah
sebagai berikut:
Dasar pendapat pertama:
1. Hadits ‘Aisyah beliau berkata:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنَ الْقَابِلَةِ
فَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِِ أَوِ الرَّابِعَةِ
فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَلَمَّا
أَصْبَحَ قَالَ: قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ، وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الْخُرُوْجِ
إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ. وَذَلِكَ فِيْ رَمَضَانَ
“Sesungguhnya Rasulullah n pada suatu malam shalat
di masjid lalu para shahabat mengikuti shalat beliau, kemudian pada malam
berikutnya (malam kedua) beliau shalat maka manusia semakin banyak (yang
mengikuti shalat Nabi ), kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam
keempat. Maka Rasulullah tidak keluar pada mereka, lalu ketika pagi harinya
beliau bersabda: ‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan, dan
tidaklah ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir
akan diwajibkan pada kalian,’ dan (peristiwa) itu terjadi di bulan Ramadhan.”
(Muttafaqun ‘alaih)
• Al-Imam An-Nawawi berkata: “Dalam hadits ini
terkandung bolehnya shalat nafilah (sunnah) secara berjamaah akan tetapi yang
utama adalah shalat sendiri-sendiri kecuali pada shalat-shalat sunnah yang
khusus seperti shalat ‘Ied dan shalat gerhana serta shalat istisqa’, dan
demikian pula shalat tarawih menurut jumhur ulama.” (Syarh Shahih Muslim, 6/284
dan lihat pula Al-Majmu’, 3/499;528)
• Tidak adanya pengingkaran Nabi terhadap para
shahabat yang shalat bersamanya (secara berjamaah) pada beberapa malam bulan
Ramadhan. (Al-Fath, 4/297 dan Al-Iqtidha’, 1/592)
2. Hadits Abu Dzar z beliau berkata, Rasulullah
bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ اْلإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ
حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
“Sesungguhnya seseorang apabila shalat bersama imam
sampai selesai maka terhitung baginya (makmum) qiyam satu malam penuh.” (HR.
Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah)
Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t
dalam Shahih Sunan Abi Dawud (1/380). Berkenaan dengan hadits di atas, Al-Imam
Ibnu Qudamah mengatakan: “Dan hadits ini adalah khusus pada qiyamu Ramadhan
(tarawih).” (Al-Mughni, 2/606)
Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Apabila permasalahan
seputar antara shalat (tarawih) yang dilaksanakan pada permulaan malam secara
berjamaah dengan shalat (yang dilaksanakan) pada akhir malam secara
sendiri-sendiri maka shalat (tarawih) dengan berjamaah lebih utama karena
terhitung baginya qiyamul lail yang sempurna.” (Qiyamu Ramadhan, hal. 26)
3. Perbuatan ‘Umar bin Al-Khaththab dan para
shahabat lainnya (Syarh Shahih Muslim, 6/282), ketika ‘Umar bin Al-Khaththab
melihat manusia shalat di masjid pada malam bulan Ramadhan, maka sebagian
mereka ada yang shalat sendirian dan ada pula yang shalat secara berjamaah
kemudian beliau mengumpulkan manusia dalam satu jamaah dan dipilihlah Ubai bin
Ka’b sebagai imam (lihat Shahih Al-Bukhari pada kitab Shalat Tarawih).
4. Karena shalat tarawih termasuk dari syi’ar Islam
yang tampak maka serupa dengan shalat ‘Ied. (Syarh Shahih Muslim, 6/282)
5. Karena shalat berjamaah yang dipimpin seorang
imam lebih bersemangat bagi keumuman orang-orang yang shalat. (Fathul Bari,
4/297)
Dalil pendapat kedua:
Hadits dari shahabat Zaid bin Tsabit , sesungguhnya
Nabi bersabda: “Wahai manusia, shalatlah di rumah kalian! Sesungguhnya shalat
yang paling utama adalah shalatnya seseorang yang dikerjakan di rumahnya
kecuali shalat yang diwajibkan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dengan hadits inilah mereka mengambil dasar akan
keutamaan shalat tarawih yang dilaksanakan di rumah dengan sendiri-sendiri dan
tidak dikerjakan secara berjamaah. (Nashbur Rayah, 2/156 dan Syarh Shahih
Muslim, 6/282)
Pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini adalah
pendapat pertama karena hujjah-hujjah yang telah tersebut di atas. Adapun
jawaban pemegang pendapat pertama terhadap dasar yang digunakan oleh pemegang
pendapat kedua adalah:
• Bahwasanya Nabi memerintahkan para shahabat untuk
mengerjakan shalat malam pada bulan Ramadhan di rumah mereka (setelah para
shahabat sempat beberapa malam mengikuti shalat malam secara berjamaah bersama
Nabi ), karena kekhawatiran beliau akan diwajibkannya shalat malam secara
berjamaah (Fathul Bari, 3/18) dan kalau tidak karena kekhawatiran ini niscaya
beliau akan keluar menjumpai para shahabat (untuk shalat tarawih secara
berjamaah) (Al-Iqtidha’, 1/594). Dan sebab ini (kekhawatiran beliau akan
menjadi wajib) sudah tidak ada dengan wafatnya Nabi (Al-‘Aun, 4/248 dan Al-Iqtidha’, 1/595),
karena dengan wafatnya beliau maka tidak ada kewajiban yang baru dalam agama
ini.
Waktu Shalat Tarawih
Waktu shalat tarawih adalah antara shalat ‘Isya
hingga terbit fajar sebagaimana sabda Rasulullah:
إِنَّ اللهَ زَادَكُمْ صَلاَةً وَهِيَ الْوِتْرُ فَصَلُّوْهَا
فِيْمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Allah telah menambah shalat pada
kalian dan dia adalah shalat witir. Maka lakukanlah shalat witir itu antara
shalat ‘Isya hingga shalat fajar.” (HR. Ahmad, Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani
berkata: “(Hadits) ini sanadnya shahih”, sebagaimana dalam Ash-Shahihah, 1/221
no.108)
Jumlah Rakaat dalam Shalat Tarawih
Kemudian untuk jumlah rakaat dalam shalat tarawih
adalah 11 rakaat berdasarkan:
1. Hadits yang diriwayatkan dari Abu Salamah bin
‘Abdurrahman, beliau bertanya pada ‘Aisyah tentang sifat shalat Rasulullah n
pada bulan Ramadhan, beliau menjawab:
مَا كَانَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلاَ فِيْ غَيْرِهِ
عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً …
“Tidaklah (Rasulullah) melebihkan (jumlah rakaat)
pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada selain bulan Ramadhan dari 11 rakaat.”
(HR. Al-Imam Al-Bukhari)
‘Aisyah dalam hadits di atas mengisahkan tentang jumlah
rakaat shalat malam Rasulullah yang telah beliau saksikan sendiri yaitu 11
rakaat, baik di bulan Ramadhan atau bulan lainnya. “Beliaulah yang paling
mengetahui tentang keadaan Nabi n di malam hari dari lainnya.” (Fathul Bari,
4/299)
Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani berkata: “(Jumlah)
rakaat (shalat tarawih) adalah 11 rakaat, dan kami memilih tidak lebih dari (11
rakaat) karena mengikuti Rasulullah, maka sesungguhnya beliau tidak melebihi 11
rakaat sampai beliau wafat.” (Qiyamu Ramadhan, hal. 22)
2. Dari Saaib bin Yazid beliau berkata:
أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيْمًا
الدَّارِيَّ أَنْ يَقُوْمَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“’Umar bin Al-Khaththab memerintahkan pada Ubai bin
Ka’b dan Tamim Ad-Dari untuk memimpin shalat berjamaah sebanyak 11 rakaat.”
(HR. Al-Imam Malik, lihat Al-Muwaththa Ma’a Syarh Az-Zarqani, 1/361 no. 249)
Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani berkata dalam
Al-Irwa (2/192) tentang hadits ini: “(Hadits) ini isnadnya sangat shahih.”
Asy-Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin t berkata: “Dan (hadits) ini merupakan nash
yang jelas dan perintah dari ‘Umar , dan (perintah itu) sesuai dengannya karena
beliau termasuk manusia yang paling bersemangat dalam berpegang teguh dengan As
Sunnah, apabila Rasulullah tidak melebihkan dari 11 rakaat maka sesungguhnya
kami berkeyakinan bahwa ‘Umar akan berpegang teguh dengan jumlah ini (yaitu 11
rakaat).” (Asy-Syarhul Mumti’)
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa shalat tarawih
itu jumlahnya 23 rakaat adalah pendapat yang lemah karena dasar yang digunakan
oleh pemegang pendapat ini hadits-hadits yang lemah. Di antara hadits-hadits
tersebut:
1. Dari Yazid bin Ruman beliau berkata:
كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِيْ زَمَانِ عُمَرَ بْنِ
الْخَطَّابِ فِيْ رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً
“Manusia menegakkan (shalat tarawih) di bulan
Ramadhan pada masa ‘Umar bin Al-Khaththab 23 rakaat.” (HR. Al-Imam Malik, lihat
Al-Muwaththa Ma’a Syarh Az-Zarqaani, 1/362 no. 250)
Al-Imam Al-Baihaqi berkata: “Yazid bin Ruman tidak
menemui masa ‘Umar ”. (Nukilan dari kitab Nashbur Rayah, 2/154) (maka sanadnya
munqothi/terputus, red).
Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani men-dha’if-kan
hadits ini sebagaimana dalam Al-Irwa (2/192 no. 446).
2. Dari Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman dari Hakam dari
Miqsam dari Ibnu ‘Abbas :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ
يُصَلِّى فِيْ رَمَضَانَ عِشْرِيْنَ رَكَعَةَ وَالْوِتْرَ
“Sesungguhnya Nabi shalat di bulan Ramadhan 20
rakaat dan witir.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Awsath, 5/324 no. 5440
dan 1/243 no. 798, dan dalam Al-Mu’jamul Kabir, 11/311 no. 12102)
Al-Imam Ath-Thabrani berkata: “Tidak ada yang
meriwayatkan hadits ini dari Hakam kecuali Abu Syaibah dan tidaklah
diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas kecuali dengan sanad ini saja.” (Al-Mu’jamul
Ausath, 1/244)
Dalam kitab Nashbur Rayah (2/153) dijelaskan: “Abu
Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman adalah perawi yang lemah menurut kesepakatan, dan
dia telah menyelisihi hadits yang shahih riwayat Abu Salamah, sesungguhnya
beliau bertanya pada ‘Aisyah: “Bagaimana shalat Rasulullah di bulan Ramadhan?
(yaitu dalil pertama dari pendapat yang pertama).” Asy-Syaikh Nashiruddin
Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini
maudhu’ (palsu). (Adh-Dha’ifah, 2/35 no. 560 dan Al-Irwa, 2/191 no. 445)
Nah, bagaimana para pembaca blog yang saya hormati ?
Jelas, tidak ne ? Kalau belum jelas, Anda bisa menghubungi saya.
Setelah kita membaca artikel yang ditulis oleh
Ustadz Hariyadi, kita jadi paham bahwa shalat Tarawih yang dikerjakan
Rasulullah SAW itu jumlah raka’atnya hanya 8 raka’at. Bukan 21 atau 23 raka’at.
Ini yang mendekati kebenaran. Ada dalil yang bisa dipertanggungjawabkan.
Memang ini bukan mutlak benar. Kebenaran yang
sesungguhnya hanya Allah Tabaaraka Wa Ta’ala yang mengetahuinya. Tapi dalil
untuk 8 raka’at adalah dalil yang paling baik diantara dalil-dalil lain menurut
para ahli.
Namun begitu saya dengan tangan terbuka menerima
dalil-dalil lain yang bisa dipertanggungjawabkan. Saya bukan fanatik mazhab.
Saya murni ingin belajar.
Walaupun begitu sebaiknya kita jangan menghardik
mereka yang konsisten 21 atau 23 raka’at. Biarkan mereka meyakini apa yang
sudah mereka yakini. Tapi itulah manusia. Manusia tidak mungkin bisa dipaksa
untuk sama. Setiap manusia itu ingin berbeda dari manusia lainnya.
Dan satu lagi. Kita jangan pernah mengomentari
sebuah pendapat sebelum mengetahui duduk permasalahannya. Kalau tidak, semua
akan berujung ke debat kusir. Biasanya debat kusir itu hanyalah pertarungan
antara orang bodoh dan orang sok tahu. Jadilah debat yang tiada ujungnya. Yang
ada emosi belaka. Tidak ada manfaat sedikitpun.
Perlu diketahui bahwa perbedaan pemahaman yang
terjadi di dalam masyarakat memang sudah sejak dahulu. Sebab pendidikan dan
pengalaman seseorang berbeda-beda. Sehingga di dalam menafsirkan Al-Qur’an dan
Hadits berbeda pula. Jadi kita tidak perlu mencoba membuka kunci perdebatan.
Lebih baik kita menulis di blog seperti ini. Tulis apa pendapat kita. Sehingga
dibaca dan ada manfaat bagi orang lain.
Yang penting disini adalah kita melaksanakannya.
Melaksanakan Shalat Tarawih. Bukan sibuk berdebat dengan orang lain.
Komentar
Posting Komentar