Individu, keluarga dan masyarakat
"Kehidupan Waria di tengah Masyarakat"
Kehidupan manusia secara lengkap dan realistik tergambarkan
dalam proses-proses sosial yang terjadi dan terdapat dalam masyarakat. Menurut
J. Dwi Narwoko-Bagong Suyanto (2007:57) bahwa “proses sosial adalah setiap
interaksi sosial yang berlangsung dalam satu jangka waktu, sedemikian rupa
hingga menunjukkan pola-pola pengulangan hubungan prilaku dalam kehidupan
masyarakat”. Dijelaskan pula bahwa interaksi sosial dapat dibedakan dalam dua
jenis, yaitu interaksi sosial yang asosiatif dan interaksi sosial yang disosiatif.
Interaksi sosial asosiatif adalah apabila proses itu mengidentifikasikaan
adanya “gerak dan penyatuan” sedangkan proses disosiatif adalah proses yang
ditandai adanya suatu pertentangan atau pertikaian yang tergantung sekali pada
unsur-unsur budaya yang menyangkut struktur masyarakat dan sistem
nilai-nilainya.
Waria (wanita-pria) merupakan salah satu bagian masyarakat
yang mengalami proses sosial disosiatif, kehadirannya ditengah-tengah
masyarakat belum sepenuhnya diterima. Keadaan mereka dianggap sebagai perilaku
menyimpang (perilaku atau tindakan di luar kebiasaan, adat-istiadat, aturan,
nilai-nilai, atau norma-norma sosial yang berlaku). Tidak jarang mereka
diperlakukan seperti orang aneh yang patut ditertawakan dan dicemooh,
dikucilkan, dan dianggap tidak normal. Menurut Nina Karinina dalam makalahnya
berjudul Penyimpangan Identitas dan Peran Jender (2007) bahwa hambatan sosial
yang dialami kaum waria meliputi hampir di seluruh aspek kehidupan sosial
seperti dalam hal kesempatan pendidikan, kesempatan bekerja, kesempatan dalam
kegiatan keagamaan, kesempatan dalam kehidupan keluarga dan hambatan kesempatan
perlindungan hukum. Waria adalah individu yang mengalami transvestite,
yaitu individu yang memiliki jenis kelamin pria namun mempuyai naluri dan sifat
wanita. Kartini Kartono (1978:265), mengatakan bahwa istilah waria berasal dari
kata “Wanita-Pria”, disamping itu mendapat sebutan lain seperti Wadam
(Wanita-Adam) atau banci.
Permasalahan kaum waria berkaitan dengan kondisi dirinya
tersebut mengakibatkan renggangnya hubungan waria dengan lingkungan sosialnya,
baik dalam lingkungan kerja, lingkungan beragama maupun lingkungan sosial. Hal
ini menyebabkan mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan
mengakses sumber-sumber yang ada, masih rendahnya pendapatan yang mereka
peroleh menyebabkan belum terpenuhinya kebutuhan dasar (sandang, pangan,
perumahan, kesehatan dan pendidikan) dengan baik.
Uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya waria tak lepas dari interaksi sosial dengan lingkungan
sosialnya. Hal ini seperti menurut Gillin dan Gillin dalam Soerjono Soekanto
(2005:61) menyatakan bahwa: “Interaksi merupakan hubungan-hubungan sosial yang
dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara
kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok
manusia”. Dijelaskan pula bahwa lingkungan sosial terdiri dari orang-orang,
baik individual maupun kelompok yang berada di sekitar manusia.
Dalam lingkungan tempat tinggal, mereka terisolir dari
keluarga dan teman bermain karena kondisi dirinya sehingga mereka terpaksa
mencari teman yang senasib. Di lingkungan beragama juga demikian mereka belum
bisa menunaikan kewajiban mereka sebagai umat beragama seperti sholat, pengajian
atau dalam kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya. Mereka masih menerima cibiran,
cemoohan dari masyarakat. Di lingkungan kerja sebagai pemilik salon dan tukang
gunting keliling, mereka sering dihadapkan pada perlakuan kelayan yang kadang
tidak mau membayar bahkan mereka mengalami pengusiran dari tempat usaha atau
rumah kontrakan yang dijadikan salon, sehingga tempat usaha mereka
berpindah-pindah tetapi masih di wilayah yang sama, hal ini berdampak pada
pendapatan yang rendah sehingga mereka belum dapat mencukupi kebutuhan dasar
dengan baik.
- Permasalahan
Kaum
waria selama ini masih dipandang sebelah mata. Tak jarang mereka mendapat
perlakuan kurang manusiawi. Padahal, mereka punya hak untuk hidup layak sesuai
harkat dan martabatnya sebagai manusia. Razia terhadap waria yang sering
mangkal di perempatan jalan, sepertinya menjadi pemandangan biasa. Bersama
komunitas jalanan lainnya, mereka acap mendapat perlakuan kurang manusiawi.
Dalam lingkungan tempat tinggal, mereka terisolir dari
keluarga dan teman bermain karena kondisi dirinya sehingga mereka terpaksa
mencari teman yang senasib. Di lingkungan beragama juga demikian mereka belum
bisa menunaikan kewajiban mereka sebagai umat beragama seperti sholat,
pengajian atau dalam kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya. Mereka masih menerima
cibiran, cemoohan dari masyarakat. Di lingkungan kerja sebagai pemilik salon
dan tukang gunting keliling, mereka sering dihadapkan pada perlakuan kelayan
yang kadang tidak mau membayar bahkan mereka mengalami pengusiran dari tempat usaha
atau rumah kontrakan yang dijadikan salon, sehingga tempat usaha mereka
berpindah-pindah tetapi masih di wilayah yang sama, hal ini berdampak pada
pendapatan yang rendah sehingga mereka belum dapat mencukupi kebutuhan dasar
dengan baik.
Komentar
Posting Komentar